Strategika!

Perilaku Harga Minyak Sawit

Posted in Ekonomi, Kelapa Sawit by efendi arianto on July 6, 2008


Sumber gambar: http://www.comesatradehub.com

Ditulis oleh Efendi Arianto pada Jul 6, 2008. Silahkan mengutip dengan menyebutkan sumbernya.

PENDAHULUAN

Dekade ini ditandai oleh fenomena melejitnya harga bahan bakar fosil yang memaksa berbagai negara mencari sumber-sumber energi alternatif terbarukan, yaitu bioenergi. Jika pada tahun 2000 harga minyak bumi (CO, crude oil) adalah US$ 21 per barrel, maka pada tahun 2008 (28 Juni) harga minyak bumi telah mencapai US$ 140-an per barrel.

Meroketnya harga energi berdampak langsung pada harga produk pertanian melalui kenaikan biaya input semisal pupuk, dan biaya transportasi (Nainggolan. 2007). Dilihat dari faktor ekonomi, kenaikan harga minyak ini disebabkan oleh adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi India yang mencapai 8% dan juga pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai besaran 10%. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi besaran konsumsi energi kedua negara tersebut secara signifikan.

Pencarian bahan bakar alternatif bersumber bioenergi memang telah memberikan persaingan terhadap sumber daya pangan. Hal ini dapat terjadi jika lahan dan sumber daya produktif pertanian berubah menjadi sumber daya untuk pasokan energi. Secara makro ekonomi, alasan peningkatan harga bahan pangan dapat dijelaskan pada dua sisi, yaitu demand side dan supply side.

Pada Supply Side:
Perubahan iklim (climate changes) telah mendorong berkurangnya produksi bahan makanan. Telah terjadi penurunan dari produksi bahan pangan di seluruh dunia, terutama pada negara-negara besar produsen bahan pangan seperti Amerika Serikat dan Australia. Peningkatan harga minyak bumi telah menyebabkan peningkatan biaya produksi pertanian, dan juga menyebabkan lahan pertanian diubah dari keperluan produksi bahan pangan menjadi keperluan produksi bahan untuk biofuel.

Pada Demand Side:
Telah terjadi peningkatan konsumsi makanan, terutama di negara-negara yang secara ekonomi sedang tumbuh cepat seperti China dan India. Di China, peningkatan konsumsi daging berarti pengurangan ketersediaan kacang-kacangan karena perlu beberapa lipat bahan kacang-kacangan sebagai makanan ternak untuk penyediaan daging ternak. Perubahan pola konsumsi ini telah mengakibatkan peningkatan permintaan pada bahan pangan.


Sumber: Von Braun (2007)

Tabel 1. Change in Food Consumption Quantity, Ratios 2005/1990

Sebagaimana terlihat pada Tabel 1 di atas, perubahan pola konsumsi pangan di China misalnya telah mengakibatkan peningkatan konsumsi minyak makan, daging, unggas, ikan dan buah-buahan beberapa kali lipat di tahun 2005 dibandingkan pada tahun 1990. Hal yang sama juga terjadi di India dan negara-negara berkembang lainnya.

Permintaan akan minyak nabati terutama diakibatkan oleh kebutuhan akan minyak makan dan panganan protein. Menurut Schnepf (2006) perkembangan utama terjadi pada sisi permintaan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China dan India yang mendorong konsumsi domestik akan makanan. China saat ini merupakan importir utama kacang kedelai, dan berdua dengan India merupakan importir utama untuk minyak nabati dunia.

Produk minyak sawit yang merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia juga mengalami peningkatan harga yang signifikan di tahun 2007. Harga minyak sawit secara historis terus meningkat sejak mengalami titik terendah pada tahun 2001 pada kisaran harga US$200 per ton. Peningkatan harga yang tajam terjadi sejak tahun 2006, dari tingkat US$400 per ton menjadi US$900 per ton di akhir tahun 2007. Peningkatan harga minyak sawit (CPO, crude palm oil) ini juga mendongkrak harga buah sawit (TBS, tandan buah segar). Para petani kelapa sawit memperoleh manfaat dari hasil menjual buah sawit kepada pabrik-pabrik pengolah buah sawit menjadi CPO. Oleh karenanya, harga TBS merupakan salah satu indikator penting yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan petani kelapa sawit.

Sebagai salah satu komoditas utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk biodiesel. Terlepas dari keekonomian konversi minyak sawit menjadi biodiesel, sentimen ini ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk biofuel/biodiesel.

Tulisan ini berusaha untuk memahami perilaku harga minyak sawit (crude palm oil) di Indonesia dalam kaitannya dengan peningkatan harga minyak bumi (crude oil). Selain harga minyak sawit, juga diamati harga buah sawit (tandan buah segar).

KAJIAN PUSTAKA

Struktur Pasar dan Harga

Harga (P) merupakan titik keseimbangan ketika para pembeli (dalam hal ini mewakili permintaan) dan para penjual (dalam hal ini mewakili penawaran) bertemu di pasar.


Gambar 1. Harga Mewakili Keseimbangan Penawaran dan Permintaan

Informasi baru yang masuk ke dalam pasar, misalnya tentang kegagalan panen, dapat merubah harapan dari pelaku pasar dan mendorong terbentuknya titik keseimbangan baru. Hal ini terjadi karena para penjual akan merevisi harga tawaran mereka dan para pembeli akan merevisi tawaran pembelian mereka berdasarkan informasi baru yang diterima.

Pergeseran permintaan dari keseimbangan pasar (misalnya karena berita kegagalan panen di suatu daerah produksi) akan meningkatkan harga P sejalan dengan bergesernya kurva Permintaan ke arah kanan sepanjang kurva Penawaran. Hal yang sama juga dapat terjadi seandainya terjadi pergesaran penawaran pada keseimbangan pasar akan dapat menurunkan tingkat harga P sebagaimana digambarkan Penawaran bergeser ke arah kanan sepanjang kurva Permintaan. Kedua hipotesa harga ini hanya berlaku pada jangka pendek. Dalam jangka panjang, para produsen akan membuat keputusan untuk menanam (berproduksi) berdasarkan harapan akan harga yang baru.

Kecepatan dan efisiensi dari penyesuaian harga yang terjadi akan tergantung dari struktur pasar di mana suatu komoditas diperdagangkan. Karakteristik dari struktur pasar antara lain adalah:

1. Jumlah pembeli dan penjual – semakin besar pelaku pasar, semakin meningkat price competitiveness.

2. Homogenitas dari komoditas dalam hal varietas, tipe, kualitas, dan karakteristik yang diinginkan pengguna akhir – semakin bervariasi suatu produk, maka semakin bervariasi tingkat harga di antara produk dan pasar.

3. Jumlah dari produk substitusi – semakin banyak subsitusi, maka pembeli akan semakin memiliki alternatif pilihan, dan semakin price sensitif.

4. Kemampusimpanan dari komoditas – semakin mampu disimpan, maka penjual akan semakin memiliki pilihan kapan dan pada kondisi apa komoditas akan dijual.

5. Transparansi dari formasi harga, misalnya pelelangan terbuka dibanding kontrak privat – semakin transparan akan menjaga terjadinya manipulasi harga.

6. Kemudahan memindahtangankan komoditas di antara pembeli dan penjual dan antar pasar – semakin memiliki mobilitas tinggi maka akan semakin memiliki kesamaan tingkat harga.

7. Restriksi artifisial pada proses di pasar, misalnnya kebijakan pemerintah atau kolusi pasar dari para pelaku utama – semakin banyak restriksi akan semakin membuat harga jauh dari posisi keseimbangan natural.

Menurut Baffes (2007), harga minyak bumi mempengaruhi harga komoditas lainnya dengan berbagai cara. Komoditas seperti minyak sayur, gula dan jagung dapat diolah menjadi ethanol dan biodiesel, karenanya komoditas ini dapat berperan sebagai produk substitusi bagi minyak bumi.

Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antara aspek permintaan-penawaran-harga. Dalam hal demikian umumnya penggunaan alat analisis ekonometrik merupakan metode analisis yang sering digunakan. Namun demikian, penggunaan tabel-tabel sederhana dan atau grafik dengan pembahasan secara deskriptif juga menjadi alternatif metode yang sering dipergunakan dalam analisis harga (Rachman, 2005). Terdapat dua alasan mengapa analisis harga komoditas menjadi penting untuk dilakukan, yaitu: (1) Untuk mengestimasi koefisien (parameter) ekonomi tertentu seperti elastisitas permintaan dari harga komoditas dan (2) Untuk meramalkan harga pada masa mendatang dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga komoditas tertentu.

HIPOTESA RISET

Terkait dengan sentimen untuk memanfaatkan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, maka perlu dilakukan pengujian korelasi harga antara harga CPO dengan harga minyak bumi. Pengujian yang sama juga perlu dilakukan terhadap harga buah sawit (TBS), baik terhadap harga CPO maupun terhadap harga minyak bumi (CO). Untuk itu perlu dijawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah pergerakan harga minyak sawit (CPO), harga buah sawit (TBS) dan harga minyak bumi (CO) saling berkorelasi?

METODE

Kerangka Pemikiran

Permintaan minyak bumi dipengaruhi jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula permintaan akan minyak makan.

Permintaan = f (harga, harga produk lain, jumlah penduduk, pendapatan, selera, …)

Sentimen bioenergi telah menjadikan berbagai produk pertanian makanan dikonversi menjadi bahan baku untuk ethanol dan biofuel. Produk-produk ini antara lain adalah jagung, kedelai, rapeseed, sunflower, dan minyak sawit. Sentimen ini telah menyebabkan harga produk-produk pertanian tersebut dicurigai meningkat sejalan dengan peningkatan harga minyak bumi.

Minyak sawit yang merupakan komoditas potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku biodiesel juga mengalami peningkatan harga yang signifikan. Untuk itu perlu dilihat keterkaitan harga minyak sawit dengan harga minyak bumi. Keterkaitan harga minyak sawit dan minyak bumi ini dapat terjadi baik karena komoditas minyak sawit telah menjadi produk substitusi dari minyak bumi, maupun karena kesamaan faktor-faktor pendorong permintaan terhadap minyak sawit dan minyak bumi, yakni pertumbuhan penduduk dan peningkatan kemakmuran dunia, terutama yang terjadi di China dan India.

Data dan Sumber Data

Data harga bulanan CPO (dalam US$ per Ton) dan TBS (dalam Rp/Kg) didapatkan dari publikasi harga minyak sawit yang disediakan oleh PT SMART Tbk pada alamat website http://www.smart-tbk.com. Harga minyak sawit (CPO) tersebut adalah harga port Belawan, sedangkan harga buah sawit (TBS) adalah harga pasar Medan.

Harga minyak bumi (CO) diperoleh dan diolah dari data historis minyak bumi yang disediakan oleh Energy Information Administration, official energy statistics from the U.S. Government pada alamat http://www.eia.doe.gov/. Harga minyak bumi tersebut adalah harga rata-rata mingguan pada harga dunia yang merupakan rerata tertimbang terhadap porsi ekspor tiap negara.

Analisa

Sentimen tentang pemanfaatan minyak sawit menjadi bahan bakar nabati muncul ketika harga minyak bumi (crude oil) naik secara tajam di tahun 2007, dari sekitar US$50 menjadi US$90 per barrel. Pada saat yang sama harga CPO naik dari US$600 menjadi US$900 per ton. Pergerakan harga CPO dan harga minyak bumi pada periode 1999-2007 nampak pada Gambar di bawah.


Gambar 2. Pergerakan Harga CPO, TBS dan CO 1999-2007

Pengujian Hipotesa

Hasil pengujian korelasi dan regresi harga minyak sawit dan minyak bumi pada berbagai periode (1999-2007, 1999-2005, 2006-2007 dan 2007) terdapat pada Tabel 1. Pengujian statistik korelasi harga minyak sawit dengan harga minyak bumi pada periode 1999-2007 menunjukkan bahwa minyak sawit dan minyak bumi memang berkorelasi positif sebesar 0,66. Pada periode 1999-2005 korelasinya hanyalah 0,12. Sementara jika dilihat pergerakan pada periode 2006-2007, korelasi pergerakan harga minyak sawit dan minyak bumi adalah 0.73. Korelasi sangat positif sebesar 0,97 terjadi di tahun 2007.


Tabel 2. Hasil Uji Regresi Harga Minyak Sawit (CPO) dan Minyak Bumi (CO)

Model yang dibangun pada Tabel 2 di atas diformulasikan sebagai:

PCPO = a + b*PCO + c

di mana PCPO adalah harga CPO dan PCO adalah harga minyak bumi (CO).

Sebagaimana terlihat pada Tabel 2, model yang dibangun signifikan pada periode 2006-2007 (F-sig 0.05). Dengan demikian, sejak tahun 2006 harga crude oil dapat dijadikan sebagai patokan untuk peramalan harga CPO. Pengujian korelasi per tahun dari tahun 1999 hingga 2007 menunjukkan konsistensi korelasi antara harga TBS dengan harga CPO, namun demikian untuk CPO dengan CO (dan TBS dengan CO) tidak terjadi konsistensi korelasi pada periode tersebut (lihat Gambar 3).


Gambar 3. Korelasi TBS-CPO-CO 1999-2007

Dengan memperhatikan pola kenaikan harga TBS dan CPO relatif terhadap harga Januari 1999 (harga TBS dikonversikan ke dalam satuan US$) pada Gambar 4 di bawah, dapat dikatakan bahwa harga TBS mengalami kenaikan yang relatif lebih tinggi (lebih dari 2,5 kali) dibandingkan kenaikan harga CPO (yang hanya 1,5 kali). Dengan demikian nilai harga yang diterima oleh petani sawit (proses panen TBS) dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan nilai harga yang didapat para produsen CPO (pengolahan TBS menjadi CPO).


Gambar 4. Kenaikan Harga TBS dan CPO 1999-2007 (Jan 1999 = 100)

KESIMPULAN

Sentimen pemanfaatan minyak sawit (CPO, crude palm oil) sebagai bahan baku biodiesel telah menyebabkan permintaan terhadap CPO semakin meningkat. Hal ini terkait dengan sentimen pengunaan bahan bakar nabati sebagai dampak dari meningkatnya harga minyak bumi (CO, crude oil), terutama di tahun 2007.

Harga CPO akan terus meningkat karena selain sentimen tentang pencarian bahan bakar alternatif termasuk biofuel berbahan baku CPO, juga karena peningkatan permintaan dari dua konsumen terbesar dunia, yakni India dan China, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut yang saat ini mencapai 8-10 persen per tahun.

Harga buah sawit (TBS) secara konsisten berkorelasi dengan harga CPO, hal ini dapat terjadi karena penetapan harga TBS memang mengacu pada harga CPO. Namun demikian korelasi ini meningkat mendekati satu pada tahun 2007. Sementara itu korelasi antara harga minyak sawit dan minyak bumi tidak konsisten berkorelasi positif setiap tahun. Pada periode amatan, korelasi positif antara harga minyak sawit dengan minyak bumi memang terjadi pada periode 2006-2007. Sementara pada periode 1999-2007, peningkatan harga CPO dan TBS menunjukkan bahwa nilai harga yang diterima oleh petani sawit (harga TBS) dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan nilai harga yang didapat para produsen CPO (harga CPO).

DAFTAR PUSTAKA

Baffes, J. 2007. Oil Spills on Other Commodities. Policy Research Working Paper, 4333. The World Bank, Development Prospects Group, Global Trends Team (August 2007).

Blankmeyer, E. 1990. Best Log-Linear Index Numbers of Prices and Quantities. Atlantic Economic Journal; Jun 1990; 18, 2; ABI/INFORM Global pg. 17

Cashin, P., and McDermott, C.J.. 2002. The long-run behavior of commodity prices: Small trends and big variability. IMF Staff Papers; 2002; 49, 2; ABI/INFORM Global pg. 175

Deb, P., Trivedi, P.K., and Varangis, P. 1996. The Excess Co-Movement Of Commodity Prices Reconsidered. Journal of Applied Econometrics (1986-1998); May/Jun 1996; 11, 3; ABI/INFORM Global pg. 275

Hea, X.Z., and Westerhoffb, F.H. 2005. Commodity Markets, Price Limiters and Speculative Price Dynamics. Journal of Economic Dynamics & Control 29 (2005) 1577–1596

Jones, Ronald W. 1989. Co-Movements In Relative Commodity Prices And International Economic Inquiry; Jan 1989; 27, 1; ABI/INFORM Global pg. 131

Liew, K.Y. and Brooks, R.D. 1998. Returns and Volatility in The Kuala Lumpur Crude Palm Oil Futures Market. The Journal of Futures Markets (1986-1998); Dec 1998; 18, 18; ABI/INFORM Global pg. 985

Moutos, T. and Vines, D. 1992. Output, Inflation and Commodity Prices. Oxford Economic Papers; Jul 1992; 44, 3; ABI/INFORM Global pg. 355

Nainggolan, K. 2007. Bioenergi Vs Ketahanan Pangan. Diunduh dari: http://database.deptan.go.id:8081/bkp/index.php?option=com_content&task=view&id=84&Itemid=9 pada tanggal 28 April 2008

Peterson, H.H. and Tomek, W.G. 2005. How Much of Commodity Price Behavior Can A Rational Expectations Storage Model Explain?. Agricultural Economics 33 (2005) 289-303.

Pindyck, R.S. 1994. Inventories and the short-run dynamics of commodity prices. The Rand Journal of Economics; Spring 1994; 25, 1; ABI/INFORM Global pg. 141

Rachman, H.P.S. 2005. Metode Analisis Harga Pangan. Makalah pada apresiasi “Sistem Distribusi Pangan dan Harga Pangan”, Departemen Pertanian, Ciawi-Bogor, 3-5 Juli 2005.

Reinhart, Carmen M; Wickham, Peter. 1994. Commodity prices: Cyclical weakness or secular decline? International Monetary Fund. Staff Papers – International Monetary Fund; Jun 1994; 41, 2; ABI/INFORM Global pg. 175

Richard L Peterson; Christopher K Ma; Robert J Ritchey. Dependence in Commodity Prices. 1992. The Journal of Futures Markets (1986-1998); Aug 1992; 12, 4; ABI/INFORM Global pg. 429

Schnepf, R. 2006. Price Determination in Agricultural Commodity Markets: A Primer. CRS Report for Conggress. Updated 6 Januari 2006. Conggressional Research Service. The Library of Conggress. U.S.

Sephton, P.S. 1991. Commodity Prices: Policy Target or Information Variable. Journal of Money, Credit, and Banking; May 1991; 23, 2; ABI/INFORM Global pg. 260

Osborne, T. 2004. Market News in Commodity Price Theory: Application to the Ethiopian Grain Market. The Review of Economic Studies; Jan 2004; 71, 246; ABI/INFORM Global pg. 133

Von Braun, J. 2007. The World Food Situation – New Driving Forces and Required Actions. International Food Policy Research Institute Washington, D.C.

Tagged with: ,

4 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. ari said, on November 24, 2008 at 3:14 am

    Pak Efendi, sungguh menarik sekali tulisan2 Bapak ttg klp swt. Saat ini Saya akan menyusun tesis, rncananya ttg kelapa sawit. Tlg diberikan saran & info via email saya..topik2 apa ttg kelapa sawit yg bagus u/ dijadikan tesis. Kalo melihat blog ini..rasanya semua hal ttg klp swt sdh bapak bahas hehe… Terima kasih :)

  2. SUARA RAKYAT KUNAK said, on January 21, 2011 at 4:28 pm

    Catatan yang menarik.

  3. ika said, on May 25, 2011 at 11:13 pm

    pak saya mau tanya, saya bisa dapat data bulanan harga TBS dr mana ya. saat ini saya dalam proses penulisan karya akhir dan saya butuh data itu. tapi sangat sulit mendapatkannya. terima kasih pak sebelumnya


Leave a reply to ika Cancel reply